Rabu, 10 Juli 2013

Jatuh Cinta Dalam Diam :)


Jatuh cinta dalam diam. Begitu orang sering menyebutnya. Menikmati setiap kisah nya memang menyenangkan,tak akan pernah ada habisnya,namun miris. Terkadang manusia tidak dapat membedakan mana yang harusnya diperjuangkan dan mana yang pantas untuk dilepaskan. Terkadang manusia tak dapat melihat mana yang harusnya dikatakan dan mana yang pantas untuk dirahasiakan agar ucapan nya tak menyakiti hati orang lain. Cinta memang kejam. Tetapi,tak ada pilihan lain. Sudah dari dulu ia seperti itu.
            Jatuh cinta dalam diam. Pernahkah kau merasakan nya? Seperti diburu perasaan yang tak dapat dikuasi. Ingin sekali rasanya hanya sebatas mengungkapkan,bahkan diantara mereka ada yang tak mengiba balasan sama sekali. Tulus bukan? Sebagian orang menganggap,cinta tak selalu membutuhkan kata. Entahlah. Mungkin,pernyataan tersebut ada benarnya juga.
            Cinta memang tak selalu membutuhkan kata. Lihatlah mereka,para penyair yang pandai merangkai kata,merajutnya menjadi paragraf yang menusuk,dengan metafora yang membuatmu setiap detail nya tampak begitu hidup. Pernakah mereka mengungkapkan cinta dengan bahasa yang elok? Seperti layaknya puisi. Bisakah itu menjamin bahwa orang yang mereka cintai akan menjadi milik mereka selamanya? Tidak. Tentu saja tidak
Lalu,sekarang apa yang harus dilakukan oleh orang-orang yang terjebak oleh perasaan cinta yang menggebu,namun seperti semu untuk menjadi nyata? Mereka ingin sekali mengungkapkan nya,setidaknya hanya mengatakan bahwa mereka mencintai orang itu,begitu saja. Tak membutuhkan banyak waktu,mungkin hanya beberapa menit.
Ya. Mereka ingin sekali mengungkapkan semua perasaan yang telah lama coba mereka kuasai. Mencoba mengungkapkan rindu yang selama ini selalu dirangkainya rapi. Mencoba menuturkan sebuah kata yang selama ini hanya terucap di dalam hati. Namun,mereka tak seberani itu.
Mereka terlalu takut untuk menyatakan. Bukan! Mereka bukan nya takut akan reaksi yang mereka terima. Mereka selalu siap. Kapan pun. Mereka bahkan siap tersakiti hanya karena sebuah penolakan. Justru,yang mereka takutkan adalah keadaan.
Keadaan. Bagaimana jika setelah mereka sudah puas melampiaskan seluruh perasaan nya ke permukaan? Apa yang akan terjadi? Bagaimana jika keadaan justru berbalik? Seolah menyudutkan merreka dengan sebuah penyesalan mengapa mereka telah mengungkapkan perasaan nya? Atau,yang ini saja; Bagaimana jika kedekatan yang sudah lama dijaga justru harus hancur karena sebuah kejujuran yang naif?
Terkadang,mausia hanya terlalu membutakan matanya sendiri. Kata “teman” “sahabat” “kakak” atau bahkan “adik” yang dipergunakan sebagai identitas hanyalah kamuflase belaka. Tak banyak yang tau. Terkadang,orang-orang yang kau sebut sebagai teman,sahabat,atau ahkan mungkin mereka yang memanggilmu kakak atau adik mempunyai sebuah perasaan yang berusaha dijaga nya rapat-rapat.
Mereka tak mau mengungkapkan. Mengapa? Karena si pejuang rindu itu takut keadaan berbalik,menyudutkan mu untuk menjauh darinya dan mengorbakna kedekatan dengan kamuflase beragam yang sudah tercipta selama beberapa saat.
Jadi,sekarang. Jika aku mengatakan bahwa aku mencintaimu; dapatkah aku menahan mu disini untuk selamanya tanpa merubah apapun itu?

The Sweetest of Friendship #1


The Sweetest of Friendship
A story by Evita Nur Diasari

PROLOG
Here it’s begin...............................
           
“SELAMAT PAGI!” ah sial,suara nyaring makhluk itu lagi rupanya. Siapa lagi kalau bukan wanita berbadan ramping,dengan wajah tirus dan tulang dagu yang runcing. Shelly namanya. Dia salah satu sahabat terbaik ku sejak dulu. Yap,salah satu karena masih ada enam lainnya. Makhluk-makhluk itulah hidupku,duniaku,pijakan,kekuatan,dan penyangga sekaligus pemberi semangat ku. Sahabat terbaik ku. Kami memulai kisah indah ini semasa putih biru,hingga saat ini,ketika kami semua telah menjadi remaja seutuhnya. Merasakan bentakan dosen,panas nya kampus,celetukan senior yang entah mengapa selalu terasa pedas di telinga,hingga ulah-ulah remaja labil dengan gaya alay dan poni setengah dora yang sering menjebak kami. Ah itu hanya sebagian kecil,belum lagi di tempat kost kami yang seperti neraka. Bukan! Itu bukan perkataan ku,tapi kata Aina. Bagaimana tidak? Di tempat itulah kami benar-benar menderita,belum lagi ibu kost yang sering menagih uang kost bahkan sehari setelah kami membayar uang kost bulan ini. Kejam,itu kata Anis. Miris,begitu pendapat Dista. Tragis,entah mengapa itu yang ada di pikiran Arina. Sial,bentak Dila selalu tak pernah berbeda,dan Sabar,pendapat siapa lagi kalau bukan Fika. Anak itu memang selalu begitu,maka tak salah jika kami menyebutnya Umi -dari dulu hingga sekarang- karena memang ulah nya itu benar-benar paling alim dan kau tau? Seperti ibu-ibu. Oh,tidak! Lagi-lagi bukan aku yang mengatakan nya,aku hanya tak menepis nya saja. Kami semua memang pernah bersama-sama sewaktu SMP,di sekolah yang sama pula. Disitulah awal kerisuhan kami bermula. Entah apa pendapat orang sewaktu kami masih menjadi murid berseragam putih biru dengan gaya yang mungkin beberapa orang berpendapat kami alay?atau mungkin sekumpulan remaja labil dengan poni setengah dora? Oh,atau jangan-jangan sekumpulan orang culun dengan kacamata yang sama? Atau bisa jadi sekumpulan gadis remaja berkelakuan seperti orang idiot? Ah entahlah,biarkan saja pendapat orang seperti apa yang penting kami semua bahagia.
Kami semua berasal dari kota warisan budaya. Yogyakarta. Kota itu benar-benar mengagumkan. Hangat. Damai. Tentram. Setiap menit di dalam nya terasa begitu menenangkan. Kami sering menghabiskan waktu bersama,menikmati senja di malioboro,mengamati kesibukan pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan nya,menghabiskan waktu luang di sekitar tugu,dan masih banyak yang kami lakukan bersama. Terlalu banyak memori kebersamaan yang kami kenang,apapun itu,bahkan setiap detail nya terasa sangat manis jika diputar kembali. Entah apapun itu yang menyatukan kami hingga seperti ini,namun yang pasti tidak akan pernah ada yang dapat memisahkan kami. Tetapi,takdir hidup sudah mengariskan bahwa di setiap pertemuan pasti akan selalu ada “perpisahan”. Tetapi, apapun itu nantinya yang akan memisahkan kami,kami berharap jurang pemisah itu tak sanggup memisahkan kami. Kami semua. Sahabat sejati.

Dan inilah,bagian pertama kisah persahabatan manis itu dmulai..................................
SATU
           

            KRINGGGGG!” suara alarm begitu memekakan telinga. Pukul 07.05. aku mendesah pelan. Mata ku masih mengerjab seperti sayap kupu-kupu yang masih mengembang. Sinar matahari begitu menusuk mata pagi ini. Aku mulai beranjak,berusaha mengumpulkan nyawa yang entah berpencar dimana. Jemari ku beradu tangkas,meraih alarm yang sedari tadi bunyi nya memekakan gendang teilinga. Berisik.
            “Vit,bangun! Cepetan kita kan udah punya janji buat kabur pagi ini” Sial. Aku hampir lupa. Untung saja suara manis dan mengelikan itu buru-buru mengigatkan ku.
            “Ya ampun! Aku hampir lupa,baiklah aku siap-siap dulu.” Kata ku seraya beranjak mengapai handuk dan merapikan tempat tidur.
            “Ah dasar,baiklah ku tunggu langsung di stasiun tugu” pekik suara lembut diseberang sana. Anis. Wanita dengan suara khas dan lembut itu mengingatkan ku kembali.
            “Okesip. Tunggu aku!” sejurus kemudian aku bergegas,membanting lembut ponsel ku di atas ranjang. Langkah kaki ku sigap,seolah sudah hafal dengan likuk sudut di rumah ini yang menghantarkanku menuju kamar mandi.

                                                            **********

            “Sudah sampai. Turun disini saja pak,terimakasih” Aku segera beranjak turun dari taksi yang membawa ku ke StasiunTugu pagi ini. Mata ku menyipit tajam,berusaha mengamati rangkaian angka-angka yang berjajar rapi di argo.
            “Sudah Pak,kembalian nya ambil saja” ucap ku lirih,seraya melengkungkan senyuman simpul hingga kedua lesung pipit ku terlukis jelas. Satu senyuman pertama pagi ini rasanya tak salah untuk membangkitkan semangat.
            “Terimakasih,Mbak!” Lelaki setengah baya dengan kumis tebal itu tersenyum ramah. Aku hanya menganggukan kepala,tersenyum kemudian bergegas menuju peron yang akan mempertemukan ku dengan makhluk-makhluk setengah idiot itu.
            Suasana Stasiun Tugu pagi ini benar-benar hangat. Hujan deras yang mengguyur semalam menyisakan butir-butir air di daun-daun pohon,membuatnya berkilauan ketika diterpa sinar matahari. Hijau. Segar. Dingin sisa hujan semalam masih terasa pagi ini,terbawa oleh angin yang menusuk hingga ke tulang-tulang. Membuat beberapa orang sedikit merapatkan jaket nya,dan beberapa memilih memasukan pergelangan tangan nya di saku yang terdapat di jaket masing-masing. Matahari masih terlihat kaku,entah apa yang membuatnya malu dan memutuskan untuk tetap bersembunyi di balik awan putih yang terlihat seperti sekumpulan salju. Indah. Entahlah,harus dengan metafora apalagi yang dapat mendeskripsikan suasana pagi ini.
            “AAAAAAA! VITAAAAA!” pekik tajam menusuk gendang telinga ku. Sebuah tangan lembut menepuk bahuku,kemudian melengkungkan nya di belakang leher ku. Ah,aku tau siapa pemilik tangan ini. Gadis berbadan ramping,dengan kacamata hitam,dan...suara nya. Oh sudah jelas ini Dista. Bahkan,aku sudah bisa menebak suara khas nya.
            “Hai. Baru berangkat juga? Kirain cuma aku aja yang kesiangan” celetuk ku santai,sambil tetap melangkahkan kaki.
          “Hehe. Iyadong. Alah,mana bisa sih kita-kita on-time. Kayak ngga hafal sifat kita-kita aja.” Ucap nya renyah,sambil terus mengekor di belakang ku. Tangan nya sibuk menarik koper yang entah berapa massanya.
            “Oh iyaya. Ah,dasar!” aku meringis santai,sedikit memperlambat langkah ku. Berusaha mensejajarkan langkah ku dengan wanita di samping ku ini.
            Aku dan Dista masih terus berjalan. Sesekali menyipitkan mata,berusaha mengamati keadaan sekitar. Hingga kedua bola mata ku menangkap beberapa bayangan semu. Terlihat seperti bayangan teman-teman lain nya. Tapi,hei tunggu! Aku kembali menyipitkan mata,mencoba menjatuhkan bayangan-bayangan itu tepat di retina. Ah,itu memang benar teman-teman ku,tapi...siapa lelaki-lelaki yang ada di sana? Oh! Jangan bilang Aina tidak hanya mengajak kami tetapi juga............................................
            “Heh! Malah bengong mulu. Cepetan yuk kesana,kita udah di tunggu tuh! Kayak nya bakal kena semprot sama yang lain deh.” Dista menepuk pundak ku,menyadarkan ku dari lamunan panjang.
            “Oh iya! Ya udah yuk,cepetan!” aku bergegas,meninggalkan Dista beberapa langkah di belakang ku.
            “Yeee dasar. Malah ditinggal!” Dista mengguman pelan,bibirnya mengerucut lucu,tapi aku masih bisa menangkap jelas suara nya.
            “HAAAIII!” seperti biasa,kedatangan kami disambut oleh teriakan histeris. Seolah tak peduli di tempat umum atau bukan tapi yang jelas itu seperti kebiasaan kami yang tak pernah bisa mati. Histeris. Ah entahlah,kami bukan remaja dengan seragam putih biru lagi ,tetapi kelakuan kami masih sering tak jauh-jauh dari sekumpulan remaja yang baru gede.
            “HAAAIIII JUGAA!” kami pun berhamburan satu sama lain. Berpelukan. Sedikit berkomentar tentang perubahan yang ada pada diri kami,dan seperti biasa,menanyakan kabar satu sama lain. Ah dasar,aku sering tertawa jika diam-diam tersadar kelakuan aneh kami.
            Akibat keasyikan ngobrol,kami hampir lupa. Ada lima makhluk laki-laki berbadan jakung di antara kami. Hei,tunggu! Siapa mereka? Sepertinya aku tak asing dengan wajah nya,hanya saja tubuh nya yang membuatku terheran-heran. Mereka semua berbadan bak seperti tiang listrik. Tinggi. Menjulang. Berlengan tangguh.
            “Oh iya,aku hampir lupa. Kalian masih ingat dengan lelaki-lelaki ini?” Aina ambil suara. Oh,rupa nya dia yang mengajak lima pria jakung ini. Suara nya terlihat menelisik,mencoba mengamati perubahan ekspresi di wajah kami.
            “Siapa?” suara kami lirih,terdengar hampir bersamaan. Sejurus kemudian,masing-masing dari kami mengamati satu sama lain dengan tatapan “kau ingat dia”
            “Oh tunggu-tunggu aku ingat!” suara Dila terdengar pasti,seakan dia memang mengenal lima pria jakung berbadan seperti tiang listrik ini.
            “Hah! Siapa emang?” Arina ikut bersuara,tatapan kami semua kini menjurus pada Dila. Pandangan kami menusuk. Berbagai pertanyaan terlihat jelas mengantung di wajah kami,apalagi Fika! Lihatlah,ekspresi wajah nya benar-benar menelisik penasaran.
            “Tukang rujak depan rumah kali. Terus yang empat lainnya tukang bakso,tukang tambal ban,tukang.........” belum selesai aku menerocos tiba-tiba Anis memotong dengan sigap.
            “Elah. Serius napa,Vit! Kamu emang ya dari dulu yang dihafal cuma tukang sate,tukang bakso,tukang rujak,tukang.......” Muka mengantuk Anis terlihat sangat antusias ketika menyebutkan calon-calon lelaki idaman yang menolak nya dahulu.
            “Hei sudah-sudah. Kalian tau ini dimana kan?” Aina mencoba mengingatkan. Kau tau bagaimana ekspresi wajah nya ketika sebal? Aku berjanji,kau tak akan sanggup melihatnya. Apalagi jika dia mulai bernyanyi dengan nada tinggi. Ah,percayalah! Kau tak akan mampu berlama-lama di dekatnya.
            Kami semua kembali mengamati satu sama lain. Kemudian,nah ini dia pelaku utama nya. Lima pria berbadan tiang listrik ini sedari tadi malah melihat kerisuhan kita. Bukan nya bantuin jelasin siapa mereka,bawain koper kek,atau beliin minum,apalah itu yang terpenting bukan hanya diam dengan ekspresi datar begini. Benar-benar seperti tiang listrik,sudah ku bilang bukan? Mereka itu memang tiang listrik. Tatapan kami semua masih menusuk di bola mata kelima pria jakung itu,seakan menunggu penjelasan tentang siapa diri mereka sebenarnya. Jangan-jangan mereka berlima pacar Aina? Eh,simpenan Dila? Bukan! Mantan Shelly? Ah,atau mungkin suami Arina? Eh..kenapa aku yang malah jadi ribet sendiri gini. Mana aku pikir.
            “Siapa sih mereka?” Shelly menyenggol lengan kanan ku lembut. Ekor matanya melirik tajam ke arah ku. Membuat ku sedikit tersentak lemah.
            “Yee! Mana aku tau,emang aku siapa nya” ucap ku santai,seraya menurunkan tas punggung yang massa nya sudah terasa menempel di pundak ku.
            Hening. Ah sial,lima pria tiang listrik ini masih diam membisu.
            “Udah nanti aja kenalan nya. Kalian udah kenal kok,kita semua sekarang ke gerbong aja. Kereta nya udah mau berangkat” pengumuman yang menyebutkan bahwa kereta kami sudah siap untuk melaju terdengar nyaring,menghancurkan benteng keheningan yang sedari tadi membeku. Aina berusaha mengingatkan kami,berusaha mencairkan suasana hening yang menyebalkan ini.
            “Eh siapa sih emang?” Fika masih diam di tempatnya. Air wajahnya melukiskan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban nya.
            “Udah deh fik,nanti aja. Buruan yuk ke gerbong,kamu mau ketinggalan kereta terus kita kesana nya ngesot gitu?” aku menyipitkan mata,bibir ku mengerucut. Jemari ku menarik lembut koper ungu berukuran sedang.
            “Iyadeh iya.” Fika menurut paksa. Kemudian bergegas mengikuti langkah kaki ku. Gesekan antara roda koper,sepatu,dan berbagai benda ber-permukaan tertentu dengan lantai di peron ini seolah menciptakan irama tersendiri. Ketukan high heels beberapa penumpang menambah melodi dan warna musik yang terdengar saling bersahutan.


**********



                        Gerbong eksekutif di kereta ini terlihat tidak begitu sesak. Beberapa penumpang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa memilih untuk memainkan gadget nya,ada yang sibuk berbincang dengan rekan nya,dan beberapa lagi terlihat duduk santai berusaha mencerna apa yang baru saja mereka lakukan. Aku mengamati wajah-wajah lesu itu satu persatu. Beberapa penumpang terlihat membawa barang dagangan,sepertinya mereka baru saja pulang berdagang dan memutuskan untuk pulang kampung menemui anak dan istrinya? Ah,mungkin saja.
                        “Cepetan duduk. Kamu nggak capek apa berdiri mulu gitu?” ah,hampir saja aku tersentak. Sial. Salah satu lelaki jakung ini menghampiri ku. Hampir saja jantung ku meloncat seperti kelinci yang sedang berlari.
                        “Oh,eh.. iya.” Aku meringis tipis,kemudian duduk di sampingnya. Lhoh,eh! Kok aku bisa jadi duduk di sini? Bukan nya rencana awal aku duduk bersebelahan dengan Anis? Eh kok jadinya gini.
                        “Eh bentar! Kok aku disini? Kan harusnya aku di deket Anis? Itu kenapa jadi ancur gini duduknya? Nggak bisa dong ah. Kalian denger aku nggak sih? Halooooo!” aku ngedumel sendiri,dan sial nya lagi,lihatlah! Mereka semua malah belaga sok memejamkan mata,berusaha mengelabuhi ku. Berusaha belaga sok tidak mendengar kekesalan ku.
                        “Dih,dasar nyebelin!” aku mengerucutkan bibir,melengkungkan nya ke bawah. Cemberut. Tapi,oh! Tak ada yang peduli. Memang benar-benar,sekarang semuanya bahkan terlihat seperti tiang listrik. Tunggu! Mereka yang salah atau aku yang terlalu berlebihan? Ah,bodo amat. Apa peduli ku.
                        Aku masih menikmati perjalanan yang terasa begitu panjang ini. Beberapa dari kami masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aina,seperti biasa jemari nya beradu tangkas diatas gadget berlayar sentuh kesayangan nya itu. Anis,masih sibuk memijat keyboard hape nya sambil sesekali cengar-cengir sendiri. Entah,itu anak kesetanan apa. Dila,ah seperti yang biasanya mengantungkan headphone di telinganya sambil sesekali bibirnya berusaha mengikuti lirik yang dinyanyikan lirih. Shelly? Gadis itu masih terpejam dengan foto Emir dalam genggaman nya. Fika? Oh,sudah bisa ditebak. Sibuk dengan laptonya dan kau tau apa yang dia lakukan? Mencari berita tentang Suju dan sejenisnya. Demam korea memang telah menghipnotisnya. Lalu,bagaimana dengan Arina? Gadis itu masih sibuk dengan berbagai makanan kecil nya. Aku tak tau pasti beberapa cemilan yang sudah dia habiskan selama 2 jam perjalanan ini. Ah,suram. Sama sekali tidak ada obrolan kali ini. Hening masih merajai. Tak ada satupun yang berusaha memecahkan nya.
                        “Na,sebenernya kita mau kemana sih? Pake acara bawa koper segala” kali ini Shelly kembali ambil suara. Reflek,dua gadis yang mempunyai nama belakang “na” –Arina dan Aina-  pun memutar kepala nya,mencoba mencari darimana arah suara itu berasal.
                        “Eh,maksud ku Aina. Hehehe” gadis berambut panjang dengan wajah tirus dan badan ramping itu kembali angka suara. Kali ini dengan senyuman simpul di wajahnya,menunjukan beberapa deretan gigi nya yang berjajar rapi. Manis.
                        “Kalau mau manggil nama lengkap dong,ah!” Arina merengut sebal. Padahal sepertinya,itu bukan kesalahan yang besar yang tidak bisa di toleransi. Bukan nya memanggil seseorang dengan akhiran panggilan nya sudah biasa? Atau mungkin,Arina saja yang terlalu sensitif pagi ini.
                        “Kita mau ke Kalimantan” celetuk gadis dengan tatapan menusuk dan sifat nya  yang memang tegas ini. Tampang nya datar-datar saja,tapi terlihat begitu serius dan antusias saat mengatakan kata terakhir.
                        “EBUSET! MAU NGAPAIN WOY?” Dila yang sedari tadi masih sibuk dengan headphone nya seperti tiba-tiba kesetanan. Anak itu,masa masih bisa menengar apa yang diucapkan Aina padahal headphone jelas-jelas mengantung di telinga nya sedari tadi. Hebat. Ultrasonik.
                        Kami semua terdiam. Berusaha mencerna baik-baik apa yag dikatakan Aina. Berusaha mencerna pelan kata “ka-li-man-tan” di otak masing-masing. Benarkah yang di maksud Kalimantan itu adalah salah satu pulau besar di Indonesia? Lalu,untuk apa kami kesana? Naik kereta pula? Memangnya jaman sekarang kereta sudah bisa mengapung di air? Atau,bermodel seperti kapal selam dengan nama baru kereta selam? Ah,mana mungkin. Atau jangan-jangan kami ke Kalimantan dengan rute perjalanan jalur darat? Lebaran ke berapa kami akan sampai? Terlalu banyak pertanyaan yang datang dan pergi di benak ku. Begitu juga mereka,lihatlah! Ekspresi mereka seketika berubah,terlihat jelas dari air wajah yang terlukis jelas di wajah masing-masing. Kami semua kemudian menatap Aina dengan tatapan seolah “serius lo? Kalimantan? Yang pulau gede itu? Gila kali ya!”
                        “Oh,mungkin maksud Aina itu kali yang namanya mantan gitu. Iyakan?”aku berusaha memperbaiki suasana. Mencoba mengakhiri candaan ini. Tetapi,kenapa hanya aku yang tertawa seolah-olah ini semua hanya gurauan?
                        “Mau ngapain Na,kita kesana? Kan  itu jauh aja pake banget” Arina masih tidak bisa menyembunyikan ekspresi tak percaya di raut wajahnya,membuatnya sedikit bergetar ketika mulai membuka suara.
                        “Mau kasih pelajaran hidup buat kalian. Hehe” wanita ini malah dengan santai nya menanggapi kekagetan kami atas apa yang dia rencanakan. Memang dasar,Aina.
                        “Pelajaran hidup? Bantuin orang pedalaman gitu? Terus belajar budaya sana? Habis itu kita nyelam kayak di Bolang kan? Kayak acara Jika Aku Menjadi gitu dong?Eh,masuk tv berarti? Jangan-jangan Aina udah di kontrak ya sama sutradara nya? Wah,asik kita masuk tv.. Terus.......................” aku bercerita penuh antusias.
                        “VIITTTTTTTTT!!!!!!” belum sempat aku melanjutkan pernyataan dengan penuh imajinasi yang sulit ku bangun itu,tiba-tiba semua mata tertuju padaku. Masih sama,dengan pandangan menusuk tepat di kedua bola mata.
                        “Hehehe” aku menyeringai datar,kemudian mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ku ke atas,membentuk huruf V tepat di samping kepala.
                        “Dasar makhluk negeri dongeng” Fika menyipitkan matanya,sejurus kemudian lidah nya menjulur panjang. Ah,menyebalkan mahluk satu itu memang. Selalu saja,tak pernah berhenti memanggil ku dengan sebutan “makhluk negeri dongeng”,desah ku dalam hati. Sebal.
                        “Eh bentar deh,ini serius mau ke Kalimantan?” Dista yang sedari tadi hanya menganggap semua angin lalu,kemudin ikut ambil alih pembicaraan.
                        “Iyanih tau Aina....” aku kembali bersuara lirih. Agak sedikit ragu. Takut di semprot makhluk-makhluk setengah idiot dan jelmaan tiang listrik ini.
                        “Udah deh kalian jangan cerewet dulu. Udah,nikmatin aja dulu perjalanan nya. Toh nggak bikin capek juga,nggak ngesot apalagi jalan ditempat kan?” Aina berkata santai. Raut wajahnya datar-datar saja. Ah,makhluk ini. Peduli apa dia.


                                                            **********   
                       
                       
Suasana di dalam gerbong kereta ini masih sama saja. Tidak ada perbedaan yang mencolok,kecuali posisi duduk kami yang sudah mulai berpencar dengan kawan yang lain. Beberapa orang terlihat mulai bosan,entah alasan apa yang membuat mereka memasang tampang kelelahan. Atau mungkin,mereka benar-benar sudah lelah.
                        “Hai?” sapa pria jakung yang sedari tadi melamatkan pandangan. Kedua bola matanya berusaha mengikuti kemana arah pandangan ku.
                        “Oh hai” jawab ku singkat,tak menatap wajahnya. Hening. Sulit sekali rasanya membangun percakapan kembali dengan orang yang pernah dekat dengan mu tetapi terpisah untuk beberapa waktu. Ada sedikit kecangungan. Rasanya seperti berbicara dengan orang asing,hanya saja dengan sedikit memori.
                        “Apa kabar?” tanya nya berusaha mengalihkan kecangungan yang tanpa sadar dibangun nya sendiri sedaritadi.
                        “Baik” aku masih menjawab singkat,hanya melirik dengan ekor mata. Entah kenapa,ada sesuatu yang mencekat di tenggorokan rasanya. Pria ini. Memang tak pernah berubah ternyata. Masih sama. Bahkan,tatapan nya saja selalu membuat degupan di jantung semakin kuat. Semacam alat pemicu.
                        Aku mengedarkan pandangan. Berusaha menyibukan diri dengan apapun yang ada,apapun itu. Yang terpenting terlihat sibuk saja,sehingga pria jakung berlengan tangguh ini tidak mengajukan ku berbagai pertanyaan lainnya. Aku menekan-nekan keyboard gadget ku,bertingkah sok sibuk sehingga pria ini tidak punya waktu untuk diam-diam mengamatiku. Ah,sial! Tatapan nya malah semakin menjurus,membuatku uring-uringan sendiri.
                        “Heh,ngapain berduaan?” sapa salah satu pria jakung lainnya menghancurkan lamunan. Ternyata,lima-lima nya tidak jauh berbeda. Sama-sama suka bikin kaget aja. Gerutuku dalam hati.
                        “Ye,dih siapa juga yang berduaan. Orang ini di gerbong kan berarti banyak orang ye,sirik” ucapku seraya menjulurkan lidah. Mengemaskan.
                        Lelaki jakung itu hanya tersenyum lebar,menampilkan deretan gigi nya yang tersusun rapi. Tertawa lepas. Masih sama. Tidak ada yang berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Tawa nya masih hangat,senyum nya masih tak pernah berbeda,tatapan nya masih tegas dan dingin,sikap nya,semuanya. Lelaki ini memang tak pernah berubah,hanya saja tampak lebih dewasa. Tapi,bukan nya itu justru lebih baik? Kurasa.
                        Sialnya tatapan mereka justru semakin menusuk. Sepeti menebak-nabak apa yang kami bicarakan. Kami? Tentu saja aku dan lelaki jakung berbadan dengan sorot mata tajam yang sempurna itu. Beberapa kali,pandangan kami saling bertabrakan. Aku sering sekali menatapnya dalam diam,seperti ada sesuatu daya magis tersendiri. Darah ku berdesir. Senyum nya masih sama,tak banyak yang berubah. Atau mungkin yang berubah adalah...........................................................


Selasa, 09 Juli 2013

Nothing Like Us #1

PROLOG

Bertahun-tahun sudah aku memendam semua rindu ini. Membungkusnya dalam kegelapan malam yang terkadang diselimuti oleh dingin dan sepi. Memikirkan seseorang yang belum tentu juga akan melakukan hal yang sama. Menyimpan harapan yang kini hanya dipenuhi oleh sesak dan dihiasi ragu. Berlarut-larut dalam kesedihan yang tak berujung pada suatu kata,kebahagiaan. Aku hampir kehilangan kepercayaan pada sebuah pepatah yang mengatakan “semua akan indah pada waktunya”. Bagaimana bisa? Kapan waktu itu akan tiba? Aku lelah seperti ini. Aku lelah berkutat pada penantian yang tak kunjung menemukan celah. Aku lelah bertarung dengan rindu yang semakin hari semakin merambah. Aku lelah menahan isakan-isakan kecil yang menemui puncak nya saat malam tiba. Aku lelah. Seperti inikah seharusnya cinta? Beginikah seharusnya berjuang demi kebahagiaan? Datanglah. Ku mohon,datang sekarang. Kalau kau datang,aku berjanji tak akan bertanya mengapa baru sekarang. Kalau kau datang,aku berjanji tak akan bertanya berapa banyak cinta yang sudah kau hadang. Kalau kau datang,aku berjanji tak akan pernah lagi melihat ke belakang. Kalau kau datang,aku bersumpah; aku akan tenang. ********** Lately I’ve Been Thinking Thinking About What We Had……………………………………………………………………………. Seorang wanita berpawakan tinggi dengan badan mungil berdiri di depan jendela sebuah ruangan yang sepertinya tidak terlalu luas. Salju yang telah membeku membuat engsel-engsel jendela tak dapat dibuka. Butiran demi butiran salju yang terjatuh di atas pucuk cemara juga sudah terlihat memutih. Wanita yang memakai sweater tebal itu menempelkan wajah nya tepat di jendela. Tulang hidung nya yang sempurna membentur halus kaca jendela. Embusan nafasnya yang bersuhu lebih tinggi dibanding suhu udara di luar membuat beberapa titik embun di kaca jendela yang disandarinya itu. Dingin mulai mengerjab begitu telunjuk nya menyentuh lembut embun-embun yang tanpa disadari sudah membuat pandangan nya samar-samar. Wanita itu merapatkan sweater nya. Dingin sepertinya semakin menusuk hingga ke tulang-tulang. Kumpulan salju yang jatuh terlihat seperti bentangan karpet putih yang sempurna. Suasana yang tepat untuk sekedar turun ke bawah dan bermain-main dengan kumpulan salju yang terlihat selembut kapas itu. Namun,tidak untuk suasana hatinya. Andai saja suasana indah seperti ini muncul beberapa jam yang lalu,pasti ia akan dengan senang hati menghabiskan sisa musim dingin kali ini dengan bersenang-senang. Ya,beberapa jam yang lalu,sebelum peristiwa itu merenggut kebahagian nya. Betapa hati dengan mudah berganti suasana hanya karena sebuah peristiwa. Beberapa kali dering hp memecah lamunan nya,namun tak dihiraukan. Ia benar-benar ingin sendiri kali ini. Berusaha memperbaiki suasana hati nya yang kurang menyenangkan. Rasanya seperti ada ribuan panah yang menghujam tepat di bagian dada nya. Sesak. Andai masalah dapat dihitung dalam satuan massa,entah berapa banyak beban yang menggantung di pikiran nya. “Sel,apa kau sakit?” seorang gadis anggun berambut pirang mengacaukan lamunan Selena. Tatapan nya terlihat mengamati perubahan raut wajahnya yang memang terlihat pucat sekarang. “Tidak,hanya flu biasa saja” wanita berwajah tirus itu menjawab singkat pertanyaan sahabat nya seraya mengembangkan senyuman simpul yang terlihat samar. Tak menyakinkan. “Yang benar saja? Tidak biasanya kau seperti ini? Hanya diam mengamati salju” Caitlin kembali menelisik. Memang,Selena tak biasanya seperti itu. Dia gadis periang,tidak biasa jika raut wajah nya benar-benar terlihat lelah seperti ini. “Mungkin karna aku memang terlalu lelah saja. Aku hanya butuh istirahat.” Selena memalingkan wajahnya,memberi isyarat kepada Caitlin bahwa dia benar baik-baik saja. Wanita itu tak mau membebani sahabatnya dengan masalahnya. Sudah cukup dia saja,jangan Caitlin. “Ohiya,bagaimana kontrak kerjamu dengan Ed? Sudah diterima?” Selena mencoba mengalihkan pertanyaan Caitlin tentang apa yang terjadi pada dirinya. “Sudah,pikirkan kesehatan mu dulu. Orang sakit tidak boleh berpikiran yang macam-macam” ucap Caitlin riang. Namun,Selena tau dari raut wajahnya yang gembira, kontrak kerja wanita itu pasti sudah diterima. Syukurlah. Ungkapnya dalam hati. “Ya sudah,aku pergi dulu. Kau istirahat saja,kalau ada apa-apa hubungi aku” Caitlin menyambar tas nya lembut,kemudian segera melangkahkan kaki pergi. Bagus. Ia kembali sendiri kali ini. Diraihnya amplop coklat yang ujung-ujung nya sudah terlipat itu. Ia ingin membuka lagi amplop itu,ingin sekali lagi memastikan bahwa yang dilihatnya di foto tadi memang wajah Justin,bukan ilusi nya saja. Jemari nya masih berkutik diatas amplop,menimbang-nimbang apa yang harus dilakukan nya. Sesekali,ketukan jarum jam terdengar nyaring,bahkan lebih nyaring dari jeritan hatinya yang baru saja dihujam ribuan panah dan belasan belati. Tepat menembus hulu dada nya. “Baiklah. Aku akan buka lagi. Hanya memastikan saja” ucapnya lirih dalam hati. Matanya memejam,jemari nya bersiap membuka amplop itu. Nah,dapat. Ia masih memejamkan maja,namun dia merasakan saraf sensorik nya menyentuh selembar kertas. Perlahan,ia mengeluarkan kertas tersebut dari amplop coklat yang sudah terlihat kusut itu. Masih dengan mata terpejam,gadis itu meraba permukaan kertas yang sudah berada di telapak tangan nya. Lembut. Andai saja,wajah lelaki di kertas ini bukan pria yang dicintainya,pasti ia tak akan berniat untuk merobek-robek kertas lembut yang sudah merenggut kebahagiaan nya ini. Selena masih bersiap-siap membuka mata dan melihat -sekali lagi- apa yang ada di kertas itu. Ia menyiapkan hati nya,berusaha memperkuat diri. Baiklah ini waktunya,desah Selena dalam hati. Matanya mengerjab pelan dan perlahan,samar-samar sebuah bayangan wajah lelaki tertangkap oleh retina matanya. Ia takut. Ia benar-benar tidak sanggup menerima kenyataan bahwa lelaki yang ada di foto itu memang benar-benar Justin. Bukan,bukan dirinya tetapi hati nya. Hati nya masih belum cukup kuat untuk merasakan sakit lagi,tetapi ia harus melakukan nya. Sebelum semua justru menyiksa. Selena kembali membuka matanya,kali ini lebih lebar,agar retina nya bisa dengan jelas menangkap bayangan samar di foto itu,dan… Tidak! Ia pasti salah lihat. “Bukan! Itu pasti bukan Justin” Selena masih mendustai nurani dan pengelihatan nya. Meskipun dia tau,dalam samar pun ia sebenarnya sudah bisa mengenali wajah lelaki yang menjadi alasan kebahagian nya itu. Dahulu. Selena manarik nafas dalam-dalam. Ia tidak salah,lelaki itu memang Justin. Tetapi bagaimana bisa? Mengapa justin tega melakukan itu semua? Apa Justin setega itu Tuhan,umpat nya dalam hati. “Just..Justin” Selena meremas kuat kertas yang kini terlihat terlipat di beberapa sisinya itu. Butiran air mata muncul dari setiap sudut matanya,disusul oleh butiran-butiran lain yang meluncur bebas diatas pipinya. Sesekali ia mengigit bibir bawahnya,berusaha menahan isakan-isakan kecil yang mungkin akan segera menjadi tangis jika tidak segera dihentikan. Butir demi butir air mata masih tak dapat ditahan. Butir-butir cairan bening itu kini meninggalkan bekas nya,tepat di salah satu sisi ranjang pemiliknya. Selena memejamkan mata,megambil nafas dalam seraya berusaha mengatur ritme pernafasan nya yang naik turun. Miris. Kali ini rasanya benar-benar pedih. Menyakitkan. “Aku terlalu bodoh. Tidak seharusnya aku mempercayai Justin!” Selena memaki dirinya sendiri. Isakan-isakan kecil masih saja tak dapat diredam nya. Ternyata semua ini hanya permainan Justin. Tega sekali dia menyakitinya sampai seperti ini. “Justin,ternyata selama ini rindu ku tidak pernah bertemu dengan mu. Aku salah,dugaan ku yang benar,semua ini hanya sandiwara mu saja. Kau tak pernah benar-benar mencintaiku,Justin. Kau hanya membuatku jatuh bersama cinta palsu yang kelak akan membumi hanguskan kebahagiaan ku sendiri. Aku nekat,aku memutusan untuk jatuh dan terluka lagi. Dan kali ini,kau adalah alasan utamanya” ********** Justin mengedarkan pandangan nya begitu memasuki ruang tengah rumahnya yang memang terlalu luas itu. Sebersit perasaan kecewa pun muncul di hatinya ketika mendapati tak ada gadis yang beberapa bulan terakhir ini menyita perhatian nya. Ah,sial! Tidak ada ternyata. Keluhnya kesal dalam hati Justin segera menjatuhkan tubuhnya lembut begitu memasuki ruangan bercat putih yang terlihat bersih itu. Sebuah ranjang tempat tidur berukuran cukup besar bersandar dengan anggun beberapa meter di samping sebuah jendela lebar,yang menghubungkan langsung dengan sebuah balkon. Di samping nya,terdapat beberapa meja dengan miniatur khas dengan susunan kayu-kayu yang terlihat berseni. Di sisi yang lain lemari elegan berdiri menawan dengan beberapa pernisan yang terlihat bernilai. Barisan barang-barang dan fasilitas yang ada di kamar ini seolah ingin menegaskan kepada siapapun yang melihanya bahwa kamar ini benar-benar terlihat mewah. “Justin,apa kau tak berniat turun ke bawah untuk makan malam?” seorang wanita setengah baya yang masih tampak segar menghancurkan benteng lamunan anak lelaki nya yang mulai beranjak dewasa itu. “Tidak,Mom. Nanti saja,aku belum lapar” jawab Justin seraya tersenyum kepada ibunya. Wajah nya yang kelelahan justru semakin membuatnya terlihat mengemaskan. Ah,lelaki ini memang masih kerap di ingatkan untuk makan. Beberapa kesibukan kadang membuatnya terbang bersama waktu,sampai ia lupa bahwa ada sesuatu hal penting yang harus dilakukan nya. terutama,dengan gadis cantik berwajah tirus itu. Sial! Lagi-lagi Justin merindukan nya diam-diam. “Baiklah,biar Mom tebak,apa kau sudah makan malam dengan Miley?” Pattie masih berusaha menelisik perubahan sikap anaknya. Tidak seperti biasanya Justin bersikap seperti ini. “Tidak Mom.” Justin menjawab dengan engan. Ia lelah. Ia masih sangat malas untuk diajak beradu mulut,apalagi membicarakan Miley. Pikiran nya sedang benar-benar kacau akhir-akhir ini. “Bukan kah beberapa waktu yang lalu kau sudah mengajak nya berkencan,nak?” Pattie tampaknya masih mencoba menembakan beberapa pertanyaan tentang anak laki-laki nya dan gadis yang akhir-akhir ini memang sedang dikabarkan dekat dengan anak nya itu. “Mom,ku mohon. Aku tak ingin membicarakan nya sekarang” desah Justin putus asa. Mata nya menyiratkan bahwa ia benar-benar tidak ingin di ganggu. Ia ingin benar-benar sendiri kali ini. Wajahnya putus asa. “Oh,baiklah. Kalau kau butuh apa-apa mom ada di bawah” Pattie melengkungan senyuman di bibirnya. Tatapan nya hangat. Diusapnya lembut rambut Justin sebentar,lalu segera pergi meninggalkan kamar anak satu-satu nya itu. “Terimakasih,Mom” Justin menatap ibu nya lembut,memeluk nya sebentar lalu membiarkan wanita yang sangat dicintainya itu pergi. Ia sendiri kali ini. Terjebak bersama perasaan asing yang sering membuat dada nya sesak. Andai saja,waktu bisa ia beli dengan apapun itu,pasti ia akan bersedia membeli nya. Tetapi,ia terlambat. Semua nya sudah benar-benar terjadi,ia tak bisa mengembalikan semuanya sama seperti dulu. Yang ada hanya perasaan sedih,menyesal,kecewa,dan setumpuk perasaan bersalah lain yang kerap menghantuinya. Perasaan itu terus mengejar nya, rasa bersalah semakin memuncak ketika ia mengetahui semua nya sudah terlambat. My Baby. Panggil nya dalam hati. Lelaki itu mendesah putus asa. Wajah tampan nya terlihat benar-benar kusut sekarang. Justin mengacak asal rambutnya. Sungguh,ia tak tau apa yang harus dilakukan nya sekarang. Suram,berbaur-baur. Tidak menentu. ********** “Hai Justin” seorang wanita berambut cepak dengan gaya rock dan beberapa tatto ditubuh berjalan angkuh melewati beberapa orang yang melintas di dekatnya. Tatapan nya lurus ke depan,seolah tak mau peduli tentang pandangan orang-orang di sekitarnya. “Mau apa kau kesini?” ucap Justin malas,hanya melihat wanita itu dengan lirikan ekor matanya yang tajam. “Tenanglah,sayang. Aku hanya ingin mengajak mu makan,sekedar beristirahat saja. Aku yakin kau lelah” ucap nya manja. Tangan nya dengan sigap melingkar di leher Justin. Jemari nya mengusap penuh manja diatas pipi lelaki berlengan tangguh itu. “Lepaskan aku,Miley” bentak Justin lembut,seraya berusaha melepaskan pelukan wanita yang ternyata bernama Miley itu. “Ayolah sayang,ku mohon kali ini saja” Miley masih mengeliat manja. Tangan nya malah semakin erat menempel di pundak Justin,membuat lelaki itu sedikit kewalahan melepaskan nya. “Baiklah,baik! Ayo,ikut aku!” Justin menyerah. Ia menarik tangan Miley lembut dengan sedikit paksaan. Tatapan orang-orang yang berada di studio mewah itupun terus mengejar mereka berdua. Beberapa masih tak menyangka dengan apa yang mereka lihat,sedangkan beberapa lain nya memilih diam dengan pikiran masing-masing. Heran. “Baik. Kau mau makan dimana?” tanya Justin tak semangat dibelakang setir mobil mewah nya. Tatapan nya lurus ke depan,terlihat benar-benar sedang berkonsentrasi dengan likuk jalan yang ada di depan nya. “BrandHouse” Miley menjawab singkat pertanyaan Justin. Ia sengaja memilih Restaurant Prancis itu. Ia yakin,Justin pasti akan menuruti permintaan nya. “Kau gila? Di restaurant itu banyak Paparazi! Kau ingin membahayakan diri kita sendiri?” Justin menghentikan seebentar laju mobilnya. Di injak nya rem kuat-kuat dengan tujuan menyadarkan gadis yang kini duduk di samping kemudi nya. “Kau yang gila. Aku hanya mau di tempat itu. Apa salahnya dengan Paparazi? Mereka tak pernah membahayakan ku. Kau turuti saja sayang,atau kau akan tau akibatnya” Miley tersenyum lebar,menampilkan deretan gigi nya yang berjajar rapi. Senyumnya menyiratkan ekspresi kemenangan. Tangan nya malah dengan bebas mengenggam erat tangan Justin kali ini. “Kau gila..ah,benar-benar gila” Justin menatap Miley tak percaya. Kepala nya menggeleng pelan. Apa yang bisa ia perbuat sekarang? Mau tak mau ia harus menuruti permintaan wanita ini. Sial. Batin nya dalam hati. Justin kembali menginjakan kaki nya di gas,melanjutkan kebali laju ferrari mewah nya itu. Sementara,otak nya berpikir keras. Berusaha menemukan trick yang tepat agar dirinya bisa lolos dari jepretan Paparazi. Apalagi dengan Miley. Ah,kalau saja wanita ini mau mengerti. Tetapi sayang nya,ia tak pernah bisa mengerti Justin sama sekali. Miley masih tersenyum penuh semangat. Ia tenggelam bersama perkiraan nya tentang peristiwa yang akan terjadi nanti jika ia dan Justin benar-benar bertemu Paparazi. Biar saja,itu justru kan tujuan utamanya. Mengajak Justin ke sebuah restoran besar dan berusaha memancing Paparazi untuk dengan senang hati mengabadikan moment indah mereka. Pasti akan jadi kejutan publik,pikirnya dalam hati. Lihat saja nanti Selena. Ucap nya jahat dalam hati. Ia tersenyum penuh bahagia,memikirkan kemungkinan terburuk yang akan terjadi jika berita itu benar-benar tercium oleh Selena. Gadis itu. Pasti. Akan. Hancur. Pikirnya dalam hati. ********** Selena mengeliat pelan. Direntangkan nya tubuh nya sebentar untuk membuatnya tidak terlalu kaku. Mata nya mengerjab perlahan,seperti sayap kupu-kupu yang baru saja mengembang. Cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah lubang di ruangan itu benar-benar memekakan pandangan. Sinar nya menusuk mata,seolah ingin membuat siapapun berada pada batas jaga. Selena bangkit duduk. Berusaha mengumpulkan nyawa yang entah berpencar kemana. Dengan gesit,ia merapikan beberapa barang yang terlihat berserakan. Sejurus kemudian,langkah kaki membawa nya menapak pada sebuah balkon di samping kamar nya. Pemandangan segar kali ini dengan cepat menyapa pengelihatan nya. Butir-butir embun diatas daun yang hijau tampak berkilauan ketika diterpa sinar matahari. Angin berhembus semilir,menyisakan dingin sisa hujan semalam. Iphone pink yang berdering singkat membuatnya buru-buru melepas pandangan pada daun-daun hijau yang terlihat berkilauan. Diambilnya gadget berwarna merah muda itu. Kening nya mengernyit seketika mendapati sebuah pesan dari nomer yang sama sekali tak dikenalnya. Keluarlah. Aku punya kejutan besar untukmu. Ia memperhatikan tiap-tiap huruf yang berjajar rapi di layar gadget kecilnya. Pikiran nya menebak-nebak siapa pengirim pesan singkat itu. Apakah dia Justin? Oh,mana mungkin. Tetapi,dulu Justin memang suka sekali memberinya berbagai kejutan-kejutan kecil yang tidak bisa di duga. Tanpa di sadari,sebuah senyuman simpul menghiasi wajah cantik nya. Beberapa kenangan tentang Justin kembali muncul ke permukaan,membuat nya buru-buru menyadarkan diri sebelum terbawa lebih lama. “Sebentar.” Suara nya terdengar nyaring tapi lembut. Selena berlarian kecil menuruni beberapa anak tangga yang ada dirumah nya,kemudian menelusuri setiap liku dan tikungan yang ada di rumah ini untuk menuju pintu luar. Maklum,rumah ini memang terlalu luas. “Maaf membuatmu menunggu” Selena menyapa ramah pengunjung pertama nya pagi itu. Pengunjung? Tidak. Tidak ada orang sama sekali di balik pintu tinggi yang dihiasi kaca yang tampak mengkilap dan tembus pandang itu. Selena mengedarkan pandangan nya di sekeliling halaman rumah. Tatapan nya terlihat menyapu setiap sudut yang ada,namun hasilnya tetap saja nihil. Sama sekali tak ada tanda-tanda keberadaan seseorang disana. “Ups” gadis berambut panjang tersebut merasakan high heels nya mengenai sesuatu. Apa itu? Sebuah paket. Tidak terlalu besar.tetapi cukup besar untuk menyandung nya jika ia tidak segera menyadari keberadaan kotak berwarna coklat itu. “Apa ini? Apa ini kejutan yang dimaksud oleh seseorang yang mengirim pesan singkat tadi? Apa dia Justin?” Selena mengambil kotak yang dibalut kertas berwarna coklat keemasan itu. Jemari nya meraba,berusaha menerka wujud benda yang ada di dalam nya. Namun,ah bodoh sekali dia. Mana mungkin ia dapat menebak isinya,bentuk permukaan kotak itu saja teratur. Ah,ia mencemoh kebodohan nya sendiri di dalam hati,lalu tersenyum ketika menyadari betapa bodoh pikiran nya. “Sel,paket? Untuk mu?” Caitlin yang baru saja terbangun sudah mendapati sahabatnya duduk dengan menatap sebuah kotak berukuran sedang yang ada di pangkuan nya. Sambil membawa gelas panjang berisikan orange juice Caitlin menuruni sabar satu persatu anak tangga. “Caitlin,sepertinya paket ini untuk ku” Selena membalikan muka nya tepat kepada Caitlin yang kali ini sudah berada beberapa langkah di samping nya. “Kau yakin? Kalau begitu apa isinya?” Caitlin mengamati sahabat nya yang tatapan nya benar-benar lurus,menatap tajam kotak coklat di pangkuan nya,sambil sesekali meneguk orange juice yang sedari tadi menempel di tangan kanan nya. Raut wajahnya terlihat heran. “Aku belum membukanya” jawab Selena singkat,tanpa melepaskan pandangan nya dari kotak itu. “Buka saja sekarang” Selena menutup matanya,berusaha memeranikan diri untuk membuka kotak yang entah apa isinya itu. Jemarinya berkutik ragu,matanya memejam seraya membuka kotak berukuran sedang tersebut. “BRAAAAKKKKKKKKKKKKKKKK” kotak tersebut terjatuh tepat beberapa detik setelah Selena melihat isinya. dan………………………………………………………………………………………………………………………………… To be continue.