Rabu, 10 Juli 2013

The Sweetest of Friendship #1


The Sweetest of Friendship
A story by Evita Nur Diasari

PROLOG
Here it’s begin...............................
           
“SELAMAT PAGI!” ah sial,suara nyaring makhluk itu lagi rupanya. Siapa lagi kalau bukan wanita berbadan ramping,dengan wajah tirus dan tulang dagu yang runcing. Shelly namanya. Dia salah satu sahabat terbaik ku sejak dulu. Yap,salah satu karena masih ada enam lainnya. Makhluk-makhluk itulah hidupku,duniaku,pijakan,kekuatan,dan penyangga sekaligus pemberi semangat ku. Sahabat terbaik ku. Kami memulai kisah indah ini semasa putih biru,hingga saat ini,ketika kami semua telah menjadi remaja seutuhnya. Merasakan bentakan dosen,panas nya kampus,celetukan senior yang entah mengapa selalu terasa pedas di telinga,hingga ulah-ulah remaja labil dengan gaya alay dan poni setengah dora yang sering menjebak kami. Ah itu hanya sebagian kecil,belum lagi di tempat kost kami yang seperti neraka. Bukan! Itu bukan perkataan ku,tapi kata Aina. Bagaimana tidak? Di tempat itulah kami benar-benar menderita,belum lagi ibu kost yang sering menagih uang kost bahkan sehari setelah kami membayar uang kost bulan ini. Kejam,itu kata Anis. Miris,begitu pendapat Dista. Tragis,entah mengapa itu yang ada di pikiran Arina. Sial,bentak Dila selalu tak pernah berbeda,dan Sabar,pendapat siapa lagi kalau bukan Fika. Anak itu memang selalu begitu,maka tak salah jika kami menyebutnya Umi -dari dulu hingga sekarang- karena memang ulah nya itu benar-benar paling alim dan kau tau? Seperti ibu-ibu. Oh,tidak! Lagi-lagi bukan aku yang mengatakan nya,aku hanya tak menepis nya saja. Kami semua memang pernah bersama-sama sewaktu SMP,di sekolah yang sama pula. Disitulah awal kerisuhan kami bermula. Entah apa pendapat orang sewaktu kami masih menjadi murid berseragam putih biru dengan gaya yang mungkin beberapa orang berpendapat kami alay?atau mungkin sekumpulan remaja labil dengan poni setengah dora? Oh,atau jangan-jangan sekumpulan orang culun dengan kacamata yang sama? Atau bisa jadi sekumpulan gadis remaja berkelakuan seperti orang idiot? Ah entahlah,biarkan saja pendapat orang seperti apa yang penting kami semua bahagia.
Kami semua berasal dari kota warisan budaya. Yogyakarta. Kota itu benar-benar mengagumkan. Hangat. Damai. Tentram. Setiap menit di dalam nya terasa begitu menenangkan. Kami sering menghabiskan waktu bersama,menikmati senja di malioboro,mengamati kesibukan pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan nya,menghabiskan waktu luang di sekitar tugu,dan masih banyak yang kami lakukan bersama. Terlalu banyak memori kebersamaan yang kami kenang,apapun itu,bahkan setiap detail nya terasa sangat manis jika diputar kembali. Entah apapun itu yang menyatukan kami hingga seperti ini,namun yang pasti tidak akan pernah ada yang dapat memisahkan kami. Tetapi,takdir hidup sudah mengariskan bahwa di setiap pertemuan pasti akan selalu ada “perpisahan”. Tetapi, apapun itu nantinya yang akan memisahkan kami,kami berharap jurang pemisah itu tak sanggup memisahkan kami. Kami semua. Sahabat sejati.

Dan inilah,bagian pertama kisah persahabatan manis itu dmulai..................................
SATU
           

            KRINGGGGG!” suara alarm begitu memekakan telinga. Pukul 07.05. aku mendesah pelan. Mata ku masih mengerjab seperti sayap kupu-kupu yang masih mengembang. Sinar matahari begitu menusuk mata pagi ini. Aku mulai beranjak,berusaha mengumpulkan nyawa yang entah berpencar dimana. Jemari ku beradu tangkas,meraih alarm yang sedari tadi bunyi nya memekakan gendang teilinga. Berisik.
            “Vit,bangun! Cepetan kita kan udah punya janji buat kabur pagi ini” Sial. Aku hampir lupa. Untung saja suara manis dan mengelikan itu buru-buru mengigatkan ku.
            “Ya ampun! Aku hampir lupa,baiklah aku siap-siap dulu.” Kata ku seraya beranjak mengapai handuk dan merapikan tempat tidur.
            “Ah dasar,baiklah ku tunggu langsung di stasiun tugu” pekik suara lembut diseberang sana. Anis. Wanita dengan suara khas dan lembut itu mengingatkan ku kembali.
            “Okesip. Tunggu aku!” sejurus kemudian aku bergegas,membanting lembut ponsel ku di atas ranjang. Langkah kaki ku sigap,seolah sudah hafal dengan likuk sudut di rumah ini yang menghantarkanku menuju kamar mandi.

                                                            **********

            “Sudah sampai. Turun disini saja pak,terimakasih” Aku segera beranjak turun dari taksi yang membawa ku ke StasiunTugu pagi ini. Mata ku menyipit tajam,berusaha mengamati rangkaian angka-angka yang berjajar rapi di argo.
            “Sudah Pak,kembalian nya ambil saja” ucap ku lirih,seraya melengkungkan senyuman simpul hingga kedua lesung pipit ku terlukis jelas. Satu senyuman pertama pagi ini rasanya tak salah untuk membangkitkan semangat.
            “Terimakasih,Mbak!” Lelaki setengah baya dengan kumis tebal itu tersenyum ramah. Aku hanya menganggukan kepala,tersenyum kemudian bergegas menuju peron yang akan mempertemukan ku dengan makhluk-makhluk setengah idiot itu.
            Suasana Stasiun Tugu pagi ini benar-benar hangat. Hujan deras yang mengguyur semalam menyisakan butir-butir air di daun-daun pohon,membuatnya berkilauan ketika diterpa sinar matahari. Hijau. Segar. Dingin sisa hujan semalam masih terasa pagi ini,terbawa oleh angin yang menusuk hingga ke tulang-tulang. Membuat beberapa orang sedikit merapatkan jaket nya,dan beberapa memilih memasukan pergelangan tangan nya di saku yang terdapat di jaket masing-masing. Matahari masih terlihat kaku,entah apa yang membuatnya malu dan memutuskan untuk tetap bersembunyi di balik awan putih yang terlihat seperti sekumpulan salju. Indah. Entahlah,harus dengan metafora apalagi yang dapat mendeskripsikan suasana pagi ini.
            “AAAAAAA! VITAAAAA!” pekik tajam menusuk gendang telinga ku. Sebuah tangan lembut menepuk bahuku,kemudian melengkungkan nya di belakang leher ku. Ah,aku tau siapa pemilik tangan ini. Gadis berbadan ramping,dengan kacamata hitam,dan...suara nya. Oh sudah jelas ini Dista. Bahkan,aku sudah bisa menebak suara khas nya.
            “Hai. Baru berangkat juga? Kirain cuma aku aja yang kesiangan” celetuk ku santai,sambil tetap melangkahkan kaki.
          “Hehe. Iyadong. Alah,mana bisa sih kita-kita on-time. Kayak ngga hafal sifat kita-kita aja.” Ucap nya renyah,sambil terus mengekor di belakang ku. Tangan nya sibuk menarik koper yang entah berapa massanya.
            “Oh iyaya. Ah,dasar!” aku meringis santai,sedikit memperlambat langkah ku. Berusaha mensejajarkan langkah ku dengan wanita di samping ku ini.
            Aku dan Dista masih terus berjalan. Sesekali menyipitkan mata,berusaha mengamati keadaan sekitar. Hingga kedua bola mata ku menangkap beberapa bayangan semu. Terlihat seperti bayangan teman-teman lain nya. Tapi,hei tunggu! Aku kembali menyipitkan mata,mencoba menjatuhkan bayangan-bayangan itu tepat di retina. Ah,itu memang benar teman-teman ku,tapi...siapa lelaki-lelaki yang ada di sana? Oh! Jangan bilang Aina tidak hanya mengajak kami tetapi juga............................................
            “Heh! Malah bengong mulu. Cepetan yuk kesana,kita udah di tunggu tuh! Kayak nya bakal kena semprot sama yang lain deh.” Dista menepuk pundak ku,menyadarkan ku dari lamunan panjang.
            “Oh iya! Ya udah yuk,cepetan!” aku bergegas,meninggalkan Dista beberapa langkah di belakang ku.
            “Yeee dasar. Malah ditinggal!” Dista mengguman pelan,bibirnya mengerucut lucu,tapi aku masih bisa menangkap jelas suara nya.
            “HAAAIII!” seperti biasa,kedatangan kami disambut oleh teriakan histeris. Seolah tak peduli di tempat umum atau bukan tapi yang jelas itu seperti kebiasaan kami yang tak pernah bisa mati. Histeris. Ah entahlah,kami bukan remaja dengan seragam putih biru lagi ,tetapi kelakuan kami masih sering tak jauh-jauh dari sekumpulan remaja yang baru gede.
            “HAAAIIII JUGAA!” kami pun berhamburan satu sama lain. Berpelukan. Sedikit berkomentar tentang perubahan yang ada pada diri kami,dan seperti biasa,menanyakan kabar satu sama lain. Ah dasar,aku sering tertawa jika diam-diam tersadar kelakuan aneh kami.
            Akibat keasyikan ngobrol,kami hampir lupa. Ada lima makhluk laki-laki berbadan jakung di antara kami. Hei,tunggu! Siapa mereka? Sepertinya aku tak asing dengan wajah nya,hanya saja tubuh nya yang membuatku terheran-heran. Mereka semua berbadan bak seperti tiang listrik. Tinggi. Menjulang. Berlengan tangguh.
            “Oh iya,aku hampir lupa. Kalian masih ingat dengan lelaki-lelaki ini?” Aina ambil suara. Oh,rupa nya dia yang mengajak lima pria jakung ini. Suara nya terlihat menelisik,mencoba mengamati perubahan ekspresi di wajah kami.
            “Siapa?” suara kami lirih,terdengar hampir bersamaan. Sejurus kemudian,masing-masing dari kami mengamati satu sama lain dengan tatapan “kau ingat dia”
            “Oh tunggu-tunggu aku ingat!” suara Dila terdengar pasti,seakan dia memang mengenal lima pria jakung berbadan seperti tiang listrik ini.
            “Hah! Siapa emang?” Arina ikut bersuara,tatapan kami semua kini menjurus pada Dila. Pandangan kami menusuk. Berbagai pertanyaan terlihat jelas mengantung di wajah kami,apalagi Fika! Lihatlah,ekspresi wajah nya benar-benar menelisik penasaran.
            “Tukang rujak depan rumah kali. Terus yang empat lainnya tukang bakso,tukang tambal ban,tukang.........” belum selesai aku menerocos tiba-tiba Anis memotong dengan sigap.
            “Elah. Serius napa,Vit! Kamu emang ya dari dulu yang dihafal cuma tukang sate,tukang bakso,tukang rujak,tukang.......” Muka mengantuk Anis terlihat sangat antusias ketika menyebutkan calon-calon lelaki idaman yang menolak nya dahulu.
            “Hei sudah-sudah. Kalian tau ini dimana kan?” Aina mencoba mengingatkan. Kau tau bagaimana ekspresi wajah nya ketika sebal? Aku berjanji,kau tak akan sanggup melihatnya. Apalagi jika dia mulai bernyanyi dengan nada tinggi. Ah,percayalah! Kau tak akan mampu berlama-lama di dekatnya.
            Kami semua kembali mengamati satu sama lain. Kemudian,nah ini dia pelaku utama nya. Lima pria berbadan tiang listrik ini sedari tadi malah melihat kerisuhan kita. Bukan nya bantuin jelasin siapa mereka,bawain koper kek,atau beliin minum,apalah itu yang terpenting bukan hanya diam dengan ekspresi datar begini. Benar-benar seperti tiang listrik,sudah ku bilang bukan? Mereka itu memang tiang listrik. Tatapan kami semua masih menusuk di bola mata kelima pria jakung itu,seakan menunggu penjelasan tentang siapa diri mereka sebenarnya. Jangan-jangan mereka berlima pacar Aina? Eh,simpenan Dila? Bukan! Mantan Shelly? Ah,atau mungkin suami Arina? Eh..kenapa aku yang malah jadi ribet sendiri gini. Mana aku pikir.
            “Siapa sih mereka?” Shelly menyenggol lengan kanan ku lembut. Ekor matanya melirik tajam ke arah ku. Membuat ku sedikit tersentak lemah.
            “Yee! Mana aku tau,emang aku siapa nya” ucap ku santai,seraya menurunkan tas punggung yang massa nya sudah terasa menempel di pundak ku.
            Hening. Ah sial,lima pria tiang listrik ini masih diam membisu.
            “Udah nanti aja kenalan nya. Kalian udah kenal kok,kita semua sekarang ke gerbong aja. Kereta nya udah mau berangkat” pengumuman yang menyebutkan bahwa kereta kami sudah siap untuk melaju terdengar nyaring,menghancurkan benteng keheningan yang sedari tadi membeku. Aina berusaha mengingatkan kami,berusaha mencairkan suasana hening yang menyebalkan ini.
            “Eh siapa sih emang?” Fika masih diam di tempatnya. Air wajahnya melukiskan berbagai pertanyaan yang belum menemukan jawaban nya.
            “Udah deh fik,nanti aja. Buruan yuk ke gerbong,kamu mau ketinggalan kereta terus kita kesana nya ngesot gitu?” aku menyipitkan mata,bibir ku mengerucut. Jemari ku menarik lembut koper ungu berukuran sedang.
            “Iyadeh iya.” Fika menurut paksa. Kemudian bergegas mengikuti langkah kaki ku. Gesekan antara roda koper,sepatu,dan berbagai benda ber-permukaan tertentu dengan lantai di peron ini seolah menciptakan irama tersendiri. Ketukan high heels beberapa penumpang menambah melodi dan warna musik yang terdengar saling bersahutan.


**********



                        Gerbong eksekutif di kereta ini terlihat tidak begitu sesak. Beberapa penumpang terlihat sibuk dengan urusan masing-masing. Beberapa memilih untuk memainkan gadget nya,ada yang sibuk berbincang dengan rekan nya,dan beberapa lagi terlihat duduk santai berusaha mencerna apa yang baru saja mereka lakukan. Aku mengamati wajah-wajah lesu itu satu persatu. Beberapa penumpang terlihat membawa barang dagangan,sepertinya mereka baru saja pulang berdagang dan memutuskan untuk pulang kampung menemui anak dan istrinya? Ah,mungkin saja.
                        “Cepetan duduk. Kamu nggak capek apa berdiri mulu gitu?” ah,hampir saja aku tersentak. Sial. Salah satu lelaki jakung ini menghampiri ku. Hampir saja jantung ku meloncat seperti kelinci yang sedang berlari.
                        “Oh,eh.. iya.” Aku meringis tipis,kemudian duduk di sampingnya. Lhoh,eh! Kok aku bisa jadi duduk di sini? Bukan nya rencana awal aku duduk bersebelahan dengan Anis? Eh kok jadinya gini.
                        “Eh bentar! Kok aku disini? Kan harusnya aku di deket Anis? Itu kenapa jadi ancur gini duduknya? Nggak bisa dong ah. Kalian denger aku nggak sih? Halooooo!” aku ngedumel sendiri,dan sial nya lagi,lihatlah! Mereka semua malah belaga sok memejamkan mata,berusaha mengelabuhi ku. Berusaha belaga sok tidak mendengar kekesalan ku.
                        “Dih,dasar nyebelin!” aku mengerucutkan bibir,melengkungkan nya ke bawah. Cemberut. Tapi,oh! Tak ada yang peduli. Memang benar-benar,sekarang semuanya bahkan terlihat seperti tiang listrik. Tunggu! Mereka yang salah atau aku yang terlalu berlebihan? Ah,bodo amat. Apa peduli ku.
                        Aku masih menikmati perjalanan yang terasa begitu panjang ini. Beberapa dari kami masih sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aina,seperti biasa jemari nya beradu tangkas diatas gadget berlayar sentuh kesayangan nya itu. Anis,masih sibuk memijat keyboard hape nya sambil sesekali cengar-cengir sendiri. Entah,itu anak kesetanan apa. Dila,ah seperti yang biasanya mengantungkan headphone di telinganya sambil sesekali bibirnya berusaha mengikuti lirik yang dinyanyikan lirih. Shelly? Gadis itu masih terpejam dengan foto Emir dalam genggaman nya. Fika? Oh,sudah bisa ditebak. Sibuk dengan laptonya dan kau tau apa yang dia lakukan? Mencari berita tentang Suju dan sejenisnya. Demam korea memang telah menghipnotisnya. Lalu,bagaimana dengan Arina? Gadis itu masih sibuk dengan berbagai makanan kecil nya. Aku tak tau pasti beberapa cemilan yang sudah dia habiskan selama 2 jam perjalanan ini. Ah,suram. Sama sekali tidak ada obrolan kali ini. Hening masih merajai. Tak ada satupun yang berusaha memecahkan nya.
                        “Na,sebenernya kita mau kemana sih? Pake acara bawa koper segala” kali ini Shelly kembali ambil suara. Reflek,dua gadis yang mempunyai nama belakang “na” –Arina dan Aina-  pun memutar kepala nya,mencoba mencari darimana arah suara itu berasal.
                        “Eh,maksud ku Aina. Hehehe” gadis berambut panjang dengan wajah tirus dan badan ramping itu kembali angka suara. Kali ini dengan senyuman simpul di wajahnya,menunjukan beberapa deretan gigi nya yang berjajar rapi. Manis.
                        “Kalau mau manggil nama lengkap dong,ah!” Arina merengut sebal. Padahal sepertinya,itu bukan kesalahan yang besar yang tidak bisa di toleransi. Bukan nya memanggil seseorang dengan akhiran panggilan nya sudah biasa? Atau mungkin,Arina saja yang terlalu sensitif pagi ini.
                        “Kita mau ke Kalimantan” celetuk gadis dengan tatapan menusuk dan sifat nya  yang memang tegas ini. Tampang nya datar-datar saja,tapi terlihat begitu serius dan antusias saat mengatakan kata terakhir.
                        “EBUSET! MAU NGAPAIN WOY?” Dila yang sedari tadi masih sibuk dengan headphone nya seperti tiba-tiba kesetanan. Anak itu,masa masih bisa menengar apa yang diucapkan Aina padahal headphone jelas-jelas mengantung di telinga nya sedari tadi. Hebat. Ultrasonik.
                        Kami semua terdiam. Berusaha mencerna baik-baik apa yag dikatakan Aina. Berusaha mencerna pelan kata “ka-li-man-tan” di otak masing-masing. Benarkah yang di maksud Kalimantan itu adalah salah satu pulau besar di Indonesia? Lalu,untuk apa kami kesana? Naik kereta pula? Memangnya jaman sekarang kereta sudah bisa mengapung di air? Atau,bermodel seperti kapal selam dengan nama baru kereta selam? Ah,mana mungkin. Atau jangan-jangan kami ke Kalimantan dengan rute perjalanan jalur darat? Lebaran ke berapa kami akan sampai? Terlalu banyak pertanyaan yang datang dan pergi di benak ku. Begitu juga mereka,lihatlah! Ekspresi mereka seketika berubah,terlihat jelas dari air wajah yang terlukis jelas di wajah masing-masing. Kami semua kemudian menatap Aina dengan tatapan seolah “serius lo? Kalimantan? Yang pulau gede itu? Gila kali ya!”
                        “Oh,mungkin maksud Aina itu kali yang namanya mantan gitu. Iyakan?”aku berusaha memperbaiki suasana. Mencoba mengakhiri candaan ini. Tetapi,kenapa hanya aku yang tertawa seolah-olah ini semua hanya gurauan?
                        “Mau ngapain Na,kita kesana? Kan  itu jauh aja pake banget” Arina masih tidak bisa menyembunyikan ekspresi tak percaya di raut wajahnya,membuatnya sedikit bergetar ketika mulai membuka suara.
                        “Mau kasih pelajaran hidup buat kalian. Hehe” wanita ini malah dengan santai nya menanggapi kekagetan kami atas apa yang dia rencanakan. Memang dasar,Aina.
                        “Pelajaran hidup? Bantuin orang pedalaman gitu? Terus belajar budaya sana? Habis itu kita nyelam kayak di Bolang kan? Kayak acara Jika Aku Menjadi gitu dong?Eh,masuk tv berarti? Jangan-jangan Aina udah di kontrak ya sama sutradara nya? Wah,asik kita masuk tv.. Terus.......................” aku bercerita penuh antusias.
                        “VIITTTTTTTTT!!!!!!” belum sempat aku melanjutkan pernyataan dengan penuh imajinasi yang sulit ku bangun itu,tiba-tiba semua mata tertuju padaku. Masih sama,dengan pandangan menusuk tepat di kedua bola mata.
                        “Hehehe” aku menyeringai datar,kemudian mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ku ke atas,membentuk huruf V tepat di samping kepala.
                        “Dasar makhluk negeri dongeng” Fika menyipitkan matanya,sejurus kemudian lidah nya menjulur panjang. Ah,menyebalkan mahluk satu itu memang. Selalu saja,tak pernah berhenti memanggil ku dengan sebutan “makhluk negeri dongeng”,desah ku dalam hati. Sebal.
                        “Eh bentar deh,ini serius mau ke Kalimantan?” Dista yang sedari tadi hanya menganggap semua angin lalu,kemudin ikut ambil alih pembicaraan.
                        “Iyanih tau Aina....” aku kembali bersuara lirih. Agak sedikit ragu. Takut di semprot makhluk-makhluk setengah idiot dan jelmaan tiang listrik ini.
                        “Udah deh kalian jangan cerewet dulu. Udah,nikmatin aja dulu perjalanan nya. Toh nggak bikin capek juga,nggak ngesot apalagi jalan ditempat kan?” Aina berkata santai. Raut wajahnya datar-datar saja. Ah,makhluk ini. Peduli apa dia.


                                                            **********   
                       
                       
Suasana di dalam gerbong kereta ini masih sama saja. Tidak ada perbedaan yang mencolok,kecuali posisi duduk kami yang sudah mulai berpencar dengan kawan yang lain. Beberapa orang terlihat mulai bosan,entah alasan apa yang membuat mereka memasang tampang kelelahan. Atau mungkin,mereka benar-benar sudah lelah.
                        “Hai?” sapa pria jakung yang sedari tadi melamatkan pandangan. Kedua bola matanya berusaha mengikuti kemana arah pandangan ku.
                        “Oh hai” jawab ku singkat,tak menatap wajahnya. Hening. Sulit sekali rasanya membangun percakapan kembali dengan orang yang pernah dekat dengan mu tetapi terpisah untuk beberapa waktu. Ada sedikit kecangungan. Rasanya seperti berbicara dengan orang asing,hanya saja dengan sedikit memori.
                        “Apa kabar?” tanya nya berusaha mengalihkan kecangungan yang tanpa sadar dibangun nya sendiri sedaritadi.
                        “Baik” aku masih menjawab singkat,hanya melirik dengan ekor mata. Entah kenapa,ada sesuatu yang mencekat di tenggorokan rasanya. Pria ini. Memang tak pernah berubah ternyata. Masih sama. Bahkan,tatapan nya saja selalu membuat degupan di jantung semakin kuat. Semacam alat pemicu.
                        Aku mengedarkan pandangan. Berusaha menyibukan diri dengan apapun yang ada,apapun itu. Yang terpenting terlihat sibuk saja,sehingga pria jakung berlengan tangguh ini tidak mengajukan ku berbagai pertanyaan lainnya. Aku menekan-nekan keyboard gadget ku,bertingkah sok sibuk sehingga pria ini tidak punya waktu untuk diam-diam mengamatiku. Ah,sial! Tatapan nya malah semakin menjurus,membuatku uring-uringan sendiri.
                        “Heh,ngapain berduaan?” sapa salah satu pria jakung lainnya menghancurkan lamunan. Ternyata,lima-lima nya tidak jauh berbeda. Sama-sama suka bikin kaget aja. Gerutuku dalam hati.
                        “Ye,dih siapa juga yang berduaan. Orang ini di gerbong kan berarti banyak orang ye,sirik” ucapku seraya menjulurkan lidah. Mengemaskan.
                        Lelaki jakung itu hanya tersenyum lebar,menampilkan deretan gigi nya yang tersusun rapi. Tertawa lepas. Masih sama. Tidak ada yang berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Tawa nya masih hangat,senyum nya masih tak pernah berbeda,tatapan nya masih tegas dan dingin,sikap nya,semuanya. Lelaki ini memang tak pernah berubah,hanya saja tampak lebih dewasa. Tapi,bukan nya itu justru lebih baik? Kurasa.
                        Sialnya tatapan mereka justru semakin menusuk. Sepeti menebak-nabak apa yang kami bicarakan. Kami? Tentu saja aku dan lelaki jakung berbadan dengan sorot mata tajam yang sempurna itu. Beberapa kali,pandangan kami saling bertabrakan. Aku sering sekali menatapnya dalam diam,seperti ada sesuatu daya magis tersendiri. Darah ku berdesir. Senyum nya masih sama,tak banyak yang berubah. Atau mungkin yang berubah adalah...........................................................


Tidak ada komentar:

Posting Komentar