The
Sweetest of Friendship
A
story by Evita Nur Diasari
PROLOG
Here it’s
begin...............................
“SELAMAT
PAGI!” ah sial,suara nyaring makhluk itu lagi rupanya. Siapa lagi kalau bukan
wanita berbadan ramping,dengan wajah tirus dan tulang dagu yang runcing. Shelly
namanya. Dia salah satu sahabat terbaik ku sejak dulu. Yap,salah satu karena
masih ada enam lainnya. Makhluk-makhluk itulah
hidupku,duniaku,pijakan,kekuatan,dan penyangga sekaligus pemberi semangat ku.
Sahabat terbaik ku. Kami memulai kisah indah ini semasa putih biru,hingga saat
ini,ketika kami semua telah menjadi remaja seutuhnya. Merasakan bentakan dosen,panas
nya kampus,celetukan senior yang entah mengapa selalu terasa pedas di
telinga,hingga ulah-ulah remaja labil dengan gaya alay dan poni setengah dora
yang sering menjebak kami. Ah itu hanya sebagian kecil,belum lagi di tempat
kost kami yang seperti neraka. Bukan! Itu bukan perkataan ku,tapi kata Aina.
Bagaimana tidak? Di tempat itulah kami benar-benar menderita,belum lagi ibu
kost yang sering menagih uang kost bahkan sehari setelah kami membayar uang
kost bulan ini. Kejam,itu kata Anis. Miris,begitu pendapat Dista. Tragis,entah
mengapa itu yang ada di pikiran Arina. Sial,bentak Dila selalu tak pernah
berbeda,dan Sabar,pendapat siapa lagi kalau bukan Fika. Anak itu memang selalu
begitu,maka tak salah jika kami menyebutnya Umi -dari dulu hingga sekarang- karena memang ulah nya itu benar-benar
paling alim dan kau tau? Seperti ibu-ibu. Oh,tidak! Lagi-lagi bukan aku yang
mengatakan nya,aku hanya tak menepis nya saja. Kami semua memang pernah
bersama-sama sewaktu SMP,di sekolah yang sama pula. Disitulah awal kerisuhan
kami bermula. Entah apa pendapat orang sewaktu kami masih menjadi murid
berseragam putih biru dengan gaya yang mungkin beberapa orang berpendapat kami
alay?atau mungkin sekumpulan remaja labil dengan poni setengah dora? Oh,atau
jangan-jangan sekumpulan orang culun dengan kacamata yang sama? Atau bisa jadi
sekumpulan gadis remaja berkelakuan seperti orang idiot? Ah entahlah,biarkan
saja pendapat orang seperti apa yang penting kami semua bahagia.
Kami
semua berasal dari kota warisan budaya. Yogyakarta. Kota itu benar-benar
mengagumkan. Hangat. Damai. Tentram. Setiap menit di dalam nya terasa begitu
menenangkan. Kami sering menghabiskan waktu bersama,menikmati senja di
malioboro,mengamati kesibukan pedagang kaki lima yang menjajakan dagangan
nya,menghabiskan waktu luang di sekitar tugu,dan masih banyak yang kami lakukan
bersama. Terlalu banyak memori kebersamaan yang kami kenang,apapun itu,bahkan
setiap detail nya terasa sangat manis jika diputar kembali. Entah apapun itu
yang menyatukan kami hingga seperti ini,namun yang pasti tidak akan pernah ada
yang dapat memisahkan kami. Tetapi,takdir hidup sudah mengariskan bahwa di setiap
pertemuan pasti akan selalu ada “perpisahan”. Tetapi, apapun itu nantinya yang
akan memisahkan kami,kami berharap jurang pemisah itu tak sanggup memisahkan
kami. Kami semua. Sahabat sejati.
Dan inilah,bagian
pertama kisah persahabatan manis itu dmulai..................................
SATU
“KRINGGGGG!” suara alarm begitu memekakan telinga. Pukul 07.05. aku mendesah
pelan. Mata ku masih mengerjab seperti sayap kupu-kupu yang masih mengembang.
Sinar matahari begitu menusuk mata pagi ini. Aku mulai beranjak,berusaha
mengumpulkan nyawa yang entah berpencar dimana. Jemari ku beradu tangkas,meraih
alarm yang sedari tadi bunyi nya memekakan gendang teilinga. Berisik.
“Vit,bangun! Cepetan kita kan udah
punya janji buat kabur pagi ini” Sial. Aku hampir lupa. Untung saja suara manis
dan mengelikan itu buru-buru mengigatkan ku.
“Ya ampun! Aku hampir lupa,baiklah
aku siap-siap dulu.” Kata ku seraya beranjak mengapai handuk dan merapikan
tempat tidur.
“Ah dasar,baiklah ku tunggu langsung
di stasiun tugu” pekik suara lembut diseberang sana. Anis. Wanita dengan suara
khas dan lembut itu mengingatkan ku kembali.
“Okesip. Tunggu aku!” sejurus
kemudian aku bergegas,membanting lembut ponsel ku di atas ranjang. Langkah kaki
ku sigap,seolah sudah hafal dengan likuk sudut di rumah ini yang
menghantarkanku menuju kamar mandi.
**********
“Sudah sampai. Turun disini saja
pak,terimakasih” Aku segera beranjak turun dari taksi yang membawa ku ke
StasiunTugu pagi ini. Mata ku menyipit tajam,berusaha mengamati rangkaian
angka-angka yang berjajar rapi di argo.
“Sudah Pak,kembalian nya ambil saja”
ucap ku lirih,seraya melengkungkan senyuman simpul hingga kedua lesung pipit ku
terlukis jelas. Satu senyuman pertama pagi ini rasanya tak salah untuk
membangkitkan semangat.
“Terimakasih,Mbak!” Lelaki setengah
baya dengan kumis tebal itu tersenyum ramah. Aku hanya menganggukan
kepala,tersenyum kemudian bergegas menuju peron yang akan mempertemukan ku
dengan makhluk-makhluk setengah idiot itu.
Suasana Stasiun Tugu pagi ini
benar-benar hangat. Hujan deras yang mengguyur semalam menyisakan butir-butir
air di daun-daun pohon,membuatnya berkilauan ketika diterpa sinar matahari.
Hijau. Segar. Dingin sisa hujan semalam masih terasa pagi ini,terbawa oleh
angin yang menusuk hingga ke tulang-tulang. Membuat beberapa orang sedikit
merapatkan jaket nya,dan beberapa memilih memasukan pergelangan tangan nya di
saku yang terdapat di jaket masing-masing. Matahari masih terlihat kaku,entah
apa yang membuatnya malu dan memutuskan untuk tetap bersembunyi di balik awan
putih yang terlihat seperti sekumpulan salju. Indah. Entahlah,harus dengan
metafora apalagi yang dapat mendeskripsikan suasana pagi ini.
“AAAAAAA! VITAAAAA!” pekik tajam
menusuk gendang telinga ku. Sebuah tangan lembut menepuk bahuku,kemudian
melengkungkan nya di belakang leher ku. Ah,aku tau siapa pemilik tangan ini.
Gadis berbadan ramping,dengan kacamata hitam,dan...suara nya. Oh sudah jelas
ini Dista. Bahkan,aku sudah bisa menebak suara khas nya.
“Hai. Baru berangkat juga? Kirain cuma
aku aja yang kesiangan” celetuk ku santai,sambil tetap melangkahkan kaki.
“Hehe. Iyadong. Alah,mana bisa sih kita-kita on-time. Kayak ngga hafal sifat
kita-kita aja.” Ucap nya renyah,sambil terus mengekor di belakang ku. Tangan
nya sibuk menarik koper yang entah berapa massanya.
“Oh iyaya. Ah,dasar!” aku meringis
santai,sedikit memperlambat langkah ku. Berusaha mensejajarkan langkah ku
dengan wanita di samping ku ini.
Aku dan Dista masih terus berjalan.
Sesekali menyipitkan mata,berusaha mengamati keadaan sekitar. Hingga kedua bola
mata ku menangkap beberapa bayangan semu. Terlihat seperti bayangan teman-teman
lain nya. Tapi,hei tunggu! Aku kembali menyipitkan mata,mencoba menjatuhkan
bayangan-bayangan itu tepat di retina. Ah,itu memang benar teman-teman
ku,tapi...siapa lelaki-lelaki yang ada di sana? Oh! Jangan bilang Aina tidak
hanya mengajak kami tetapi juga............................................
“Heh! Malah bengong mulu. Cepetan
yuk kesana,kita udah di tunggu tuh! Kayak nya bakal kena semprot sama yang lain
deh.” Dista menepuk pundak ku,menyadarkan ku dari lamunan panjang.
“Oh iya! Ya udah yuk,cepetan!” aku
bergegas,meninggalkan Dista beberapa langkah di belakang ku.
“Yeee dasar. Malah ditinggal!” Dista
mengguman pelan,bibirnya mengerucut lucu,tapi aku masih bisa menangkap jelas
suara nya.
“HAAAIII!” seperti biasa,kedatangan
kami disambut oleh teriakan histeris. Seolah tak peduli di tempat umum atau
bukan tapi yang jelas itu seperti kebiasaan kami yang tak pernah bisa mati.
Histeris. Ah entahlah,kami bukan remaja dengan seragam putih biru lagi ,tetapi
kelakuan kami masih sering tak jauh-jauh dari sekumpulan remaja yang baru gede.
“HAAAIIII JUGAA!” kami pun
berhamburan satu sama lain. Berpelukan. Sedikit berkomentar tentang perubahan
yang ada pada diri kami,dan seperti biasa,menanyakan kabar satu sama lain. Ah
dasar,aku sering tertawa jika diam-diam tersadar kelakuan aneh kami.
Akibat keasyikan ngobrol,kami hampir
lupa. Ada lima makhluk laki-laki berbadan jakung di antara kami. Hei,tunggu!
Siapa mereka? Sepertinya aku tak asing dengan wajah nya,hanya saja tubuh nya
yang membuatku terheran-heran. Mereka semua berbadan bak seperti tiang listrik.
Tinggi. Menjulang. Berlengan tangguh.
“Oh iya,aku hampir lupa. Kalian masih
ingat dengan lelaki-lelaki ini?” Aina ambil suara. Oh,rupa nya dia yang
mengajak lima pria jakung ini. Suara nya terlihat menelisik,mencoba mengamati
perubahan ekspresi di wajah kami.
“Siapa?” suara kami lirih,terdengar
hampir bersamaan. Sejurus kemudian,masing-masing dari kami mengamati satu sama
lain dengan tatapan “kau ingat dia”
“Oh tunggu-tunggu aku ingat!” suara
Dila terdengar pasti,seakan dia memang mengenal lima pria jakung berbadan
seperti tiang listrik ini.
“Hah! Siapa emang?” Arina ikut bersuara,tatapan
kami semua kini menjurus pada Dila. Pandangan kami menusuk. Berbagai pertanyaan
terlihat jelas mengantung di wajah kami,apalagi Fika! Lihatlah,ekspresi wajah
nya benar-benar menelisik penasaran.
“Tukang rujak depan rumah kali.
Terus yang empat lainnya tukang bakso,tukang tambal ban,tukang.........” belum
selesai aku menerocos tiba-tiba Anis memotong dengan sigap.
“Elah. Serius napa,Vit! Kamu emang
ya dari dulu yang dihafal cuma tukang sate,tukang bakso,tukang
rujak,tukang.......” Muka mengantuk Anis terlihat sangat antusias ketika menyebutkan
calon-calon lelaki idaman yang menolak nya dahulu.
“Hei sudah-sudah. Kalian tau ini
dimana kan?” Aina mencoba mengingatkan. Kau tau bagaimana ekspresi wajah nya
ketika sebal? Aku berjanji,kau tak akan sanggup melihatnya. Apalagi jika dia
mulai bernyanyi dengan nada tinggi. Ah,percayalah! Kau tak akan mampu
berlama-lama di dekatnya.
Kami semua kembali mengamati satu
sama lain. Kemudian,nah ini dia pelaku utama nya. Lima pria berbadan tiang
listrik ini sedari tadi malah melihat kerisuhan kita. Bukan nya bantuin jelasin
siapa mereka,bawain koper kek,atau beliin minum,apalah itu yang terpenting
bukan hanya diam dengan ekspresi datar begini. Benar-benar seperti tiang
listrik,sudah ku bilang bukan? Mereka itu memang tiang listrik. Tatapan kami
semua masih menusuk di bola mata kelima pria jakung itu,seakan menunggu
penjelasan tentang siapa diri mereka sebenarnya. Jangan-jangan mereka berlima
pacar Aina? Eh,simpenan Dila? Bukan! Mantan Shelly? Ah,atau mungkin suami
Arina? Eh..kenapa aku yang malah jadi ribet sendiri gini. Mana aku pikir.
“Siapa sih mereka?” Shelly
menyenggol lengan kanan ku lembut. Ekor matanya melirik tajam ke arah ku.
Membuat ku sedikit tersentak lemah.
“Yee! Mana aku tau,emang aku siapa
nya” ucap ku santai,seraya menurunkan tas punggung yang massa nya sudah terasa
menempel di pundak ku.
Hening. Ah sial,lima pria tiang
listrik ini masih diam membisu.
“Udah nanti aja kenalan nya. Kalian
udah kenal kok,kita semua sekarang ke gerbong aja. Kereta nya udah mau
berangkat” pengumuman yang menyebutkan bahwa kereta kami sudah siap untuk
melaju terdengar nyaring,menghancurkan benteng keheningan yang sedari tadi
membeku. Aina berusaha mengingatkan kami,berusaha mencairkan suasana hening
yang menyebalkan ini.
“Eh siapa sih emang?” Fika masih
diam di tempatnya. Air wajahnya melukiskan berbagai pertanyaan yang belum
menemukan jawaban nya.
“Udah deh fik,nanti aja. Buruan yuk
ke gerbong,kamu mau ketinggalan kereta terus kita kesana nya ngesot gitu?” aku
menyipitkan mata,bibir ku mengerucut. Jemari ku menarik lembut koper ungu
berukuran sedang.
“Iyadeh iya.” Fika menurut paksa.
Kemudian bergegas mengikuti langkah kaki ku. Gesekan antara roda
koper,sepatu,dan berbagai benda ber-permukaan tertentu dengan lantai di peron
ini seolah menciptakan irama tersendiri. Ketukan high heels beberapa penumpang
menambah melodi dan warna musik yang terdengar saling bersahutan.
**********
Gerbong eksekutif di
kereta ini terlihat tidak begitu sesak. Beberapa penumpang terlihat sibuk
dengan urusan masing-masing. Beberapa memilih untuk memainkan gadget nya,ada
yang sibuk berbincang dengan rekan nya,dan beberapa lagi terlihat duduk santai
berusaha mencerna apa yang baru saja mereka lakukan. Aku mengamati wajah-wajah
lesu itu satu persatu. Beberapa penumpang terlihat membawa barang
dagangan,sepertinya mereka baru saja pulang berdagang dan memutuskan untuk
pulang kampung menemui anak dan istrinya? Ah,mungkin saja.
“Cepetan duduk. Kamu
nggak capek apa berdiri mulu gitu?” ah,hampir saja aku tersentak. Sial. Salah
satu lelaki jakung ini menghampiri ku. Hampir saja jantung ku meloncat seperti
kelinci yang sedang berlari.
“Oh,eh.. iya.” Aku
meringis tipis,kemudian duduk di sampingnya. Lhoh,eh! Kok aku bisa jadi duduk
di sini? Bukan nya rencana awal aku duduk bersebelahan dengan Anis? Eh kok
jadinya gini.
“Eh bentar! Kok aku
disini? Kan harusnya aku di deket Anis? Itu kenapa jadi ancur gini duduknya?
Nggak bisa dong ah. Kalian denger aku nggak sih? Halooooo!” aku ngedumel
sendiri,dan sial nya lagi,lihatlah! Mereka semua malah belaga sok memejamkan
mata,berusaha mengelabuhi ku. Berusaha belaga sok tidak mendengar kekesalan ku.
“Dih,dasar nyebelin!”
aku mengerucutkan bibir,melengkungkan nya ke bawah. Cemberut. Tapi,oh! Tak ada
yang peduli. Memang benar-benar,sekarang semuanya bahkan terlihat seperti tiang
listrik. Tunggu! Mereka yang salah atau aku yang terlalu berlebihan? Ah,bodo
amat. Apa peduli ku.
Aku masih menikmati
perjalanan yang terasa begitu panjang ini. Beberapa dari kami masih sibuk
dengan kegiatan masing-masing. Aina,seperti biasa jemari nya beradu tangkas
diatas gadget berlayar sentuh kesayangan nya itu. Anis,masih sibuk memijat
keyboard hape nya sambil sesekali cengar-cengir sendiri. Entah,itu anak
kesetanan apa. Dila,ah seperti yang biasanya mengantungkan headphone di
telinganya sambil sesekali bibirnya berusaha mengikuti lirik yang dinyanyikan
lirih. Shelly? Gadis itu masih terpejam dengan foto Emir dalam genggaman nya.
Fika? Oh,sudah bisa ditebak. Sibuk dengan laptonya dan kau tau apa yang dia
lakukan? Mencari berita tentang Suju dan sejenisnya. Demam korea memang telah
menghipnotisnya. Lalu,bagaimana dengan Arina? Gadis itu masih sibuk dengan
berbagai makanan kecil nya. Aku tak tau pasti beberapa cemilan yang sudah dia
habiskan selama 2 jam perjalanan ini. Ah,suram. Sama sekali tidak ada obrolan
kali ini. Hening masih merajai. Tak ada satupun yang berusaha memecahkan nya.
“Na,sebenernya kita mau
kemana sih? Pake acara bawa koper segala” kali ini Shelly kembali ambil suara.
Reflek,dua gadis yang mempunyai nama belakang “na” –Arina dan Aina- pun memutar kepala nya,mencoba mencari darimana
arah suara itu berasal.
“Eh,maksud ku Aina.
Hehehe” gadis berambut panjang dengan wajah tirus dan badan ramping itu kembali
angka suara. Kali ini dengan senyuman simpul di wajahnya,menunjukan beberapa
deretan gigi nya yang berjajar rapi. Manis.
“Kalau mau manggil nama
lengkap dong,ah!” Arina merengut sebal. Padahal sepertinya,itu bukan kesalahan
yang besar yang tidak bisa di toleransi. Bukan nya memanggil seseorang dengan
akhiran panggilan nya sudah biasa? Atau mungkin,Arina saja yang terlalu
sensitif pagi ini.
“Kita mau ke Kalimantan”
celetuk gadis dengan tatapan menusuk dan sifat nya yang memang tegas ini. Tampang nya datar-datar
saja,tapi terlihat begitu serius dan antusias saat mengatakan kata terakhir.
“EBUSET! MAU NGAPAIN
WOY?” Dila yang sedari tadi masih sibuk dengan headphone nya seperti tiba-tiba
kesetanan. Anak itu,masa masih bisa menengar apa yang diucapkan Aina padahal
headphone jelas-jelas mengantung di telinga nya sedari tadi. Hebat. Ultrasonik.
Kami semua terdiam.
Berusaha mencerna baik-baik apa yag dikatakan Aina. Berusaha mencerna pelan
kata “ka-li-man-tan” di otak masing-masing. Benarkah yang di maksud Kalimantan
itu adalah salah satu pulau besar di Indonesia? Lalu,untuk apa kami kesana?
Naik kereta pula? Memangnya jaman sekarang kereta sudah bisa mengapung di air?
Atau,bermodel seperti kapal selam dengan nama baru kereta selam? Ah,mana
mungkin. Atau jangan-jangan kami ke Kalimantan dengan rute perjalanan jalur
darat? Lebaran ke berapa kami akan sampai? Terlalu banyak pertanyaan yang datang
dan pergi di benak ku. Begitu juga mereka,lihatlah! Ekspresi mereka seketika
berubah,terlihat jelas dari air wajah yang terlukis jelas di wajah
masing-masing. Kami semua kemudian menatap Aina dengan tatapan seolah “serius
lo? Kalimantan? Yang pulau gede itu? Gila kali ya!”
“Oh,mungkin maksud Aina
itu kali yang namanya mantan gitu. Iyakan?”aku berusaha memperbaiki suasana.
Mencoba mengakhiri candaan ini. Tetapi,kenapa hanya aku yang tertawa seolah-olah
ini semua hanya gurauan?
“Mau ngapain Na,kita kesana?
Kan itu jauh aja pake banget” Arina
masih tidak bisa menyembunyikan ekspresi tak percaya di raut
wajahnya,membuatnya sedikit bergetar ketika mulai membuka suara.
“Mau kasih pelajaran
hidup buat kalian. Hehe” wanita ini malah dengan santai nya menanggapi
kekagetan kami atas apa yang dia rencanakan. Memang dasar,Aina.
“Pelajaran hidup?
Bantuin orang pedalaman gitu? Terus belajar budaya sana? Habis itu kita nyelam
kayak di Bolang kan? Kayak acara Jika Aku Menjadi gitu dong?Eh,masuk tv
berarti? Jangan-jangan Aina udah di kontrak ya sama sutradara nya? Wah,asik
kita masuk tv.. Terus.......................” aku bercerita penuh antusias.
“VIITTTTTTTTT!!!!!!”
belum sempat aku melanjutkan pernyataan dengan penuh imajinasi yang sulit ku
bangun itu,tiba-tiba semua mata tertuju padaku. Masih sama,dengan pandangan
menusuk tepat di kedua bola mata.
“Hehehe”
aku menyeringai datar,kemudian mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah ku ke
atas,membentuk huruf V tepat di samping kepala.
“Dasar makhluk negeri
dongeng” Fika menyipitkan matanya,sejurus kemudian lidah nya menjulur panjang.
Ah,menyebalkan mahluk satu itu memang. Selalu saja,tak pernah berhenti
memanggil ku dengan sebutan “makhluk negeri dongeng”,desah ku dalam hati.
Sebal.
“Eh bentar deh,ini serius
mau ke Kalimantan?” Dista yang sedari tadi hanya menganggap semua angin
lalu,kemudin ikut ambil alih pembicaraan.
“Iyanih tau Aina....”
aku kembali bersuara lirih. Agak sedikit ragu. Takut di semprot makhluk-makhluk
setengah idiot dan jelmaan tiang listrik ini.
“Udah deh kalian jangan
cerewet dulu. Udah,nikmatin aja dulu perjalanan nya. Toh nggak bikin capek
juga,nggak ngesot apalagi jalan ditempat kan?” Aina berkata santai. Raut
wajahnya datar-datar saja. Ah,makhluk ini. Peduli apa dia.
**********
Suasana
di dalam gerbong kereta ini masih sama saja. Tidak ada perbedaan yang
mencolok,kecuali posisi duduk kami yang sudah mulai berpencar dengan kawan yang
lain. Beberapa orang terlihat mulai bosan,entah alasan apa yang membuat mereka
memasang tampang kelelahan. Atau mungkin,mereka benar-benar sudah lelah.
“Hai?” sapa pria jakung
yang sedari tadi melamatkan pandangan. Kedua bola matanya berusaha mengikuti
kemana arah pandangan ku.
“Oh hai” jawab ku
singkat,tak menatap wajahnya. Hening. Sulit sekali rasanya membangun percakapan
kembali dengan orang yang pernah dekat dengan mu tetapi terpisah untuk beberapa
waktu. Ada sedikit kecangungan. Rasanya seperti berbicara dengan orang
asing,hanya saja dengan sedikit memori.
“Apa kabar?” tanya nya
berusaha mengalihkan kecangungan yang tanpa sadar dibangun nya sendiri
sedaritadi.
“Baik” aku masih
menjawab singkat,hanya melirik dengan ekor mata. Entah kenapa,ada sesuatu yang
mencekat di tenggorokan rasanya. Pria ini. Memang tak pernah berubah ternyata. Masih
sama. Bahkan,tatapan nya saja selalu membuat degupan di jantung semakin kuat.
Semacam alat pemicu.
Aku mengedarkan
pandangan. Berusaha menyibukan diri dengan apapun yang ada,apapun itu. Yang
terpenting terlihat sibuk saja,sehingga pria jakung berlengan tangguh ini tidak
mengajukan ku berbagai pertanyaan lainnya. Aku menekan-nekan keyboard gadget
ku,bertingkah sok sibuk sehingga pria ini tidak punya waktu untuk diam-diam
mengamatiku. Ah,sial! Tatapan nya malah semakin menjurus,membuatku uring-uringan
sendiri.
“Heh,ngapain berduaan?”
sapa salah satu pria jakung lainnya menghancurkan lamunan. Ternyata,lima-lima
nya tidak jauh berbeda. Sama-sama suka bikin kaget aja. Gerutuku dalam hati.
“Ye,dih siapa juga yang
berduaan. Orang ini di gerbong kan berarti banyak orang ye,sirik” ucapku seraya
menjulurkan lidah. Mengemaskan.
Lelaki jakung itu hanya
tersenyum lebar,menampilkan deretan gigi nya yang tersusun rapi. Tertawa lepas.
Masih sama. Tidak ada yang berbeda dari beberapa tahun yang lalu. Tawa nya
masih hangat,senyum nya masih tak pernah berbeda,tatapan nya masih tegas dan
dingin,sikap nya,semuanya. Lelaki ini memang tak pernah berubah,hanya saja
tampak lebih dewasa. Tapi,bukan nya itu justru lebih baik? Kurasa.
Sialnya tatapan mereka
justru semakin menusuk. Sepeti menebak-nabak apa yang kami bicarakan. Kami?
Tentu saja aku dan lelaki jakung berbadan dengan sorot mata tajam yang sempurna itu. Beberapa kali,pandangan kami saling bertabrakan. Aku sering sekali menatapnya dalam diam,seperti ada sesuatu daya magis tersendiri. Darah ku berdesir. Senyum nya masih sama,tak banyak yang berubah. Atau mungkin yang berubah adalah...........................................................
Tidak ada komentar:
Posting Komentar